Sehubungan ada selebaran yang mengatakan
bahwa air musta’mal itu adalah air yang muthohhir, dan air yang kurang dari dua
qullah bila kejatuhan najis maka tetap
suci jika tidak berubah, maka saya akan memberikan tanggapan mengenai dua
pemahaman tersebut. Dengan tujuan untuk meluruskan pemahaman yang menurutnya
pemahamannya itu yang paling benar.
Air musta’mal adalah air yang bekas
terpakai dari basuhan anggota wudhu yang wajib dibasuh. Lalu bagaimana
keberadaan hukum air musta’mal tersebut. Sementara ini ada yang berpendapat
bahwa, “air
musta’mal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan untuk
berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak
menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah
bau, rasa atau warnanya” dan
dikatakan ini pendapat yang lebih kuat.mereka berpendapat seperti itu karena
didasari dari beberapa dalil. Diantaranya
Dalil-dalil
yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih termasuk air yang suci:
Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ
مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar
bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu.
Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun
menggunakannya untuk mengusap.”[5]
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami
bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat
jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.”[6]
Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا
يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka
(para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu
beliau.”[7]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas
digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu
najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air
musta’mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil
berkahnya?”[8]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi’, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ
فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap
kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[9]
Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ،
وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu
dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]
Kelima: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ
رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka
satu sama lain.”[11]
Keenam: Dari Ibnu ‘Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ
بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi
dari bekas mandinya Maimunah.”[12]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma’
(kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang
berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang
suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang
suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk
melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang
menyelisihinya.”[]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air
musta’mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[]
Sedangkan sebagian ulama emacam Imam Asy Syafi’i dalam
salah satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auza’i dan Iam Abu Hanifah serta
murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta’mal.[]
Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan
dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu
a’lam.
Menurut kami, apa yang diutarakan itu
belum tentu pendapat yang lebih kuat. Karena hukum air musta’mal itu adalah thohir
ghoiru muthohhir artinya, suci tetapi tidak menyucikan, yakni air itu suci
boleh untuk diminum dan mencuci,tapi tidak boleh digunakan untuk berwudhu,
mandi hadas dan membersihkan najis. Hal ini didasari dengan hadits
Pertama: hadits menerangkan sucinya air
musta’mal
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ،
وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ،
فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau
kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun
tersadar.”[
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا
يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena
memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[
Kedua hadits yang menjelaskan tidak muthohhirnya air
musta’mal
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ وَأَنَّهُ مَسَحَ
رَأْسَهُ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدَيْهِ.
Dari Abdullah
bin Zaid, bahwa beliau melihat Rasululloh saw berwudhu, dan Rasul mengusap
kepalanya dengan air yang bukan dari sisa tangannya. HR Turmudzi dan Abu Daud.
Albani mengatakan hadits ini sohih.
Imam Turmudzi
Abu Isa berkata: hadits ini hasan lagi shohih.Ibnu Lahi’ah meriwayatkan hadits
ini dari Habban bin Wasi’ dari ayahnya dari Abdullah bin zaid bahwa Nabi saw
berwudhu dan mengusap keplanya dengan air yang bukan dari sisa tangannya. Dan
riwayat Amer bin Harist lebih shohih karena diriwayatkan tidak hanya satu
jalan. Hadits ini dari Abdullah bin Zaid bahwa Nabi saw mengambil air yang baru
untuk kekepalanya. Dan yang mengamalkan hadits ini kebanyakan dari ahli ilmu.
Mereka berpendapat mengambil air yang baru untuk mengusap kepalanya.
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِىَّ يَذْكُرُ : أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ ثُمَّ اسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا
وَيَدَهُ الْيُمْنَى ثَلاَثًا ، وَالأُخْرَى ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ
بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ ..
Dari Abdullah
bin Zaid bin ‘Ashim al maziny menyebutkan, bahwa beliau melihat rasululloh saw
berwudhu, lalu berkumur dan membuangnya, kemudian membasuh mukanya 3 kali dan
tangan kanan 3 kali, dan yang lainnya tiga kali lalu mengusap kepalanya dengan
air yang bukan dari sisa tangannya..Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari
jalan Harun bin Ma’ruf dan Abu Daud dari
jalan Ahmad bin Amer bin Sarah dan Ad-Darimi dari jalan Yahya bin Hassan dari
Lahi’ah
Imam Nawawi
berkata :artinya mengusap kepala dengan air yang baru bukan dari sisa
tangannya.
Asshon’ani
dalam subulussalam berkata: mengambil air yang baru untuk kepala itu perkara
yang harus.
عن عبد الله بن زيدأنه صلى الله عليه وسلم مسح أذنيه
بغير الماء الذي مسح به رأسه »
Dari Abdullah bin Zaid bahwa
Rasululloh saw mengusap kedua telinganya dengan air yang bukan diusap dari
kepalanya. HR Hakim.
Lalu bagaimana dengan hadits diatas yang dijadikan dasar hukum muthohhirnya
air musta’mal?
Hadits pertama
riwayat Dari Abu Hudzaifah,
Ibnu Hajar Al
‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi
adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah
air yang suci.”[6]
Dalam umdatul
qori syarah Bukhori dikatakan: Ini menunjukkan sucinya air musta’mal jika
dimaksud mereka mengambil air yang mengalir dari anggotanya, kalau yang
dimaksud mereka mengambil sisa air wudhunya yang ada di wadah, maka maksudnya
itu tabarruk dengan air itu, dan air itu thohir yakni suci.
Jadi hadits
yang pertama itu sudah jelas menunjukkan thohirnya atau sucinya air musta’mal,
bukan muthohhirnya air musta’mal. Dalil pertama hanya bisa dijadikan hujjah
bahwa air musta’mal itu suci namun bukan menyucikan untuk berwudhu, karena
penggunaan air itu tidak digunakan untuk wudhu.
Hadits kedua
riwayat dari Miswar,
Hadits nomer 2 menunjukkan sucinya air musta’mal namun
tidak menyucikan untuk berwudhu sama seperti hadits pertama
Hadits ketiga riwayat dari Ar Rubayyi’
Hadits ini dhoif.
Imam Nawawi
berkata hadits ini dhoif karena ada perawi yang bernama Abdullah bin Muhammad
yang didhoifkan oleh kebanyakan ulama.
Azzahabi berkata:
berkata Abu Hatim dan Uddah : haditsnya lemah, Ibnu Khuzaimah berkata: aku
tidak berhujjah dengannya. Berkata Hanbal bin Ishak dari Ahmad bin Hanbal Ibnu
Uqoil munkarul hadits.
Jadi hadits ini
tidak bisa dijadikan hujjah atas muthohhirnya air musta’mal
Hadits ke empat
riwayat dari Jabir
Hadits ini sama
seperti hadits nomor satu dan dua yakni menunjukkan air musta’mal itu thohir
tetapi tidak muthohhir, karena air yang digunakan tidak pakai untu berwudhu.
Hadits yang
kelima riwayat dari Abdullah bin ‘Umar
Kalau hadits ini dijadikan hujjah atas muthohhirnya air
musta’mal, maka hadits ini bertentangan dengan hadits yang menjelaskan tidak
mutohhirnya air musta’mal yaitu riwayat dari Abdullah bin Zaid, sebagaimana
tersebut diatas. Sementara hadits riwayat Ibnu Umar ini para ulama
memperselisihkan kandungan dari hadits tersebut. Karena ada hadits Nabi riwayat dari Abu Hurairah
أبي هُرَيْرَةَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ
الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
Dari Abu Huroirah ra. Berkata
Rasululloh saw janganlah salah satu dari kamu mandi di air yang tenang padahal
dia sedang junub. HR Muslim.
Begitu juga yang dipermasalahkan dalam hadits tersebut apakah yang dilakukan itu dalam
satu bejana atau bukan. Sebagaimana hadits riwayat yang datangnya dari Musaddad
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ الرِّجَالُ
وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- - قَالَ
مُسَدَّدٌ - مِنَ الإِنَاءِ الْوَاحِدِ جَمِيعًا.
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata dahulu orang laki dan perempuan bersuci
pada masa Rasululloh saw berkata
Musaddad dari satu wadah bersama-sama. HR.Abu Daud.
Dan ini
diperkuat dengan riwayat Aisyah
كنت أغتسل أنا والنبي
صلى الله عليه و سلم من إناء واحد من جنابة
Dari Aisyah
berkata Dahulu aku mandi bersama Nabi saw dalam satu wadah dari karena junub.
HR. Bukhori.
,alhasil .kalau dalam satu bejana, maka bagi kami itu
belum dihukumkan musta’mal,karena air musta’mal itu air yang sudah terpisah
dari anggota tubuh. Sementara dalam hadits tersebut masih didalam bejana.
Dan apabila hadits Ibnu Umar ini tetap dipakai juga maka
maksudnya jika air itu lebih dari dua qullah, maka air itu tetap suci
menyucikan, dan apabila kurang dari dua quillah maka air itu suci namun tidak
menyucikan. Dan hadits diatas tentunya
dihtimalkan bahwa airnya lebih dari dua qullah, supaya tidak bertentangan
dengan hadits riwayat Abdullah bin Zaid diatas.
Jadi hujjah yang paling kuat untuk penetapan tidak
mutohhirnya air musta’mal adalah hadits riwayat Abdullah bin Zaid
Sementara Dalam syarah Ibnu Bathol berkata Ibnu Qosshor:Hadits Ibnu Umar mazhabnya
telah gugur, karena laki-laki dan perempuan apabila berwudhu, maka sungguh
orang laki-laki menggunakan sisa orang perempuan, dan tidak mustahil. Sementara
yang lain berkata: Hadits Ibnu Umar ini bertentangan dengan riwayat yang datang
dari Nabi saw “bahwa Rasul melarang seorang laki-laki berwudhu dengan sisa
orang perempuan”
Dalam ‘Aunul Ma’bud dijelaskan: ahlu lughoh
berkata:kalimat ” jami’an” adalah lawanan muftariq ( berpisah ) dan sungguh
telah dijelaskan dengan hadits satu bejana dalam sohih Ibnu Khuzaimah. Hadits
ini dari jalan Mu’tamir, dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa beliau
melihat Nabi dan sahabatnya sedang bersuci sedangkan perempuan bersama mereka
dalam satu bejana semuanya sedang bersuci
Hadits yang ke
enam riwayat dari Ibnu ‘Abbas
Untuk hadits
ini sama seperti hadits Ibnu Umar diatas, yakni mandi dalam satu bejana.
sebagaimana riwayat yang dikeluarkan dari Bukhori
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - وَمَيْمُونَةَ كَانَا يَغْتَسِلاَنِ مِنْ
إِنَاءٍ وَاحِدٍ
Dari Ibnu Abbas Bahwa Nabi saw dan Maimunah keduanya
mandi dalam satu bejana. HR Bukhori.
Permasalahan
yang kedua adalah hukum air yang kurang dua qullah
Dikatakan air
yang kurang dua qullah bila kejatuhan najis tidak menjadi najis jika tidak
berubah
. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ
يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[20]
Hadits
ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah
rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan
mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah menggariskan suatu kaedah,
“Makna mantuq lebih didahulukan daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat
kita simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada
makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa
digunakan oleh para ulama.
Menurut kami
bahwa bila air kurang dua qullah lalu kejatuhan najis. Maka hukumnya tetap
najis berubah atau tidak berubah.
Berdasarkan hadits tentang dua qullah dibawah ini. “Jika air telah mencapai dua qullah,
maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni) dan mafhum hadits ini
Hadits yang menjelaskan air yang dua qullah tidak menjadi
najis. Memang benar dengan mafhum bila air kurang dari dua qullah maka
hukumnya tetap najis berubah atau tidak berubah. Sementara hadits yang
berbunyi”sungguh air itu pada dasarnya suci dan tidak bisa menjadi najis adalah
mantuq, dan dalam qoidah ushul fiqh dalil mafhum tidak boleh menyalahi
dengan dalil yang mantuq, seperti “sungguh air itu dengan adanya air artinya:
mandi wajib itu terjadi dengan keluar air mani” mafhumnya bila bertemu
kedua kemaluan laki dan wanita, maka tidak wajib mandi, dan ini bertentangan
dengan mantuq hadits “apabila kedua kemaluan laki dan perempuan bertemu
maka wajib mandi”
Namun yang menjadi masalah adalah mafhum hadits tentang
dua qullah itu telah diperkuat dengan Hadits yang berbunyi”
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله
عليه وسلم- قَالَ « إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ
فِى الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثًا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
».
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi saw
bersabda: apabila salah satu dari kamu bangun tidur, maka jangan menenggelamkan
tangannya kedalam bejana hingga ia mencucinya tiga kali, sungguh dia tidak tahu
dimana tangannya semalam HR Muslim.
Syeikh Ibnu Athiyyah berkata dalam syarah bulughul maram: mereka para ulama
berkata: yang dimaksud “ina’( wadah)” itu adalah wadah yang kecil. Artinya air
yang didalam itu sedikit.
Imam Nawawi berkata: larangan Nabi menenggelamkan tangannya menunjukkan
takut akan najis tangannya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ
ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Dari Abu Hurairah ra. Berkata Rasululloh saw :apabila anjing menjilatmu di
salah satu wadah kamu, maka tuwanglah lalu cucilah dengan tujuh kali. HR
Muslim.
Imam Nawawi berkata: perintah Iroqoh ( menuangkan) dan mencuci itu
menunjukkan najis,
Kemudian hadits yang menjelaskan “air itu suci menyucikan
tidak bisa menjadi najis dengan sesuatu apapun”, kalau dilihat dari asbabul
wurud hadits ini menerangkan tentang sumur budho’ah, dimana sumur budho’ah
tentunya isi airnya tidak sedikit melainkan banyak bahkan lebih dari dua
qullah. Jadi apa yang dimaksud dari hadits Nabi tersebut tentunya menerangkan
tentang air yang banyak, sementara air yang sedikit atau yang kurang dua qullah
sudah tentu menjadi najis bila kejatuhan najis.
Hal ini dapat disimpulkan, bahwa air yang sedikit atau
kurang dari dua qullah bila kejatuhan najis, maka menjadi najis, berubah atau
tidak berubah, berdasarkan mafhum hadits Nabi “Jika air telah mencapai dua qullah, maka
tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni) yakni bila kurang
dua qullah maka menjadi najis, berdasarkan dua hadits diatas Riwayat Abu
Hurairah.
Sementara hadits yang berbunyi “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat
menajiskannya.” Adalah hadits yang maknanya mutlak namun
diqoyidkan dengan hadits Dua qullah beserta mafhumnya.
Demikianlah tanggapan ini kami buat mudah-mudahan ini
menjadi bahan pertimbangan.
baca saja buku hasbi ash-shiddiq tentang hadis-hadis hukum..
BalasHapusbeliau mengkritik dalil larangan bersuci dengan air mus'ta'mal...
koleksi hadis-hadis hukum cetakan ke lima pt magenta bhakti guna 1994 hal 29 dst