Cari Blog Ini

Sabtu, 16 November 2013

Tanggapan pada pendapat yang mengatakan air musta'mal tetap suci



Sehubungan ada selebaran yang mengatakan bahwa air musta’mal itu adalah air yang muthohhir, dan air yang kurang dari dua qullah bila kejatuhan najis  maka tetap suci jika tidak berubah, maka saya akan memberikan tanggapan mengenai dua pemahaman tersebut. Dengan tujuan untuk meluruskan pemahaman yang menurutnya pemahamannya itu yang paling benar.
Air musta’mal adalah air yang bekas terpakai dari basuhan anggota wudhu yang wajib dibasuh. Lalu bagaimana keberadaan hukum air musta’mal tersebut. Sementara ini ada yang berpendapat bahwa, “air musta’mal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya”  dan dikatakan ini pendapat yang lebih kuat.mereka berpendapat seperti itu karena didasari dari beberapa dalil. Diantaranya
Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih termasuk air yang suci:

Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.”[5]
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.”[6]
Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,

وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[7]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta’mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?”[8]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi’, ia mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[9]
Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,

جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]
Kelima: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.”[11]
Keenam: Dari Ibnu ‘Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.”[12]

Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota  badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.”[]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air musta’mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[]
Sedangkan sebagian ulama emacam Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auza’i dan Iam Abu Hanifah serta murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta’mal.[] Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu a’lam.
Menurut kami, apa yang diutarakan itu belum tentu pendapat yang lebih kuat. Karena hukum air musta’mal itu adalah thohir ghoiru muthohhir artinya, suci tetapi tidak menyucikan, yakni air itu suci boleh untuk diminum dan mencuci,tapi tidak boleh digunakan untuk berwudhu, mandi hadas dan membersihkan najis. Hal ini didasari dengan hadits
Pertama: hadits menerangkan sucinya air musta’mal
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[

وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[
Kedua hadits yang menjelaskan tidak muthohhirnya air musta’mal
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ وَأَنَّهُ مَسَحَ رَأْسَهُ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدَيْهِ.
Dari Abdullah bin Zaid, bahwa beliau melihat Rasululloh saw berwudhu, dan Rasul mengusap kepalanya dengan air yang bukan dari sisa tangannya. HR Turmudzi dan Abu Daud. Albani mengatakan hadits ini sohih.
Imam Turmudzi Abu Isa berkata: hadits ini hasan lagi shohih.Ibnu Lahi’ah meriwayatkan hadits ini dari Habban bin Wasi’ dari ayahnya dari Abdullah bin zaid bahwa Nabi saw berwudhu dan mengusap keplanya dengan air yang bukan dari sisa tangannya. Dan riwayat Amer bin Harist lebih shohih karena diriwayatkan tidak hanya satu jalan. Hadits ini dari Abdullah bin Zaid bahwa Nabi saw mengambil air yang baru untuk kekepalanya. Dan yang mengamalkan hadits ini kebanyakan dari ahli ilmu. Mereka berpendapat mengambil air yang baru untuk mengusap kepalanya.
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِىَّ يَذْكُرُ : أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ ثُمَّ اسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَهُ الْيُمْنَى ثَلاَثًا ، وَالأُخْرَى ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ ..
Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al maziny menyebutkan, bahwa beliau melihat rasululloh saw berwudhu, lalu berkumur dan membuangnya, kemudian membasuh mukanya 3 kali dan tangan kanan 3 kali, dan yang lainnya tiga kali lalu mengusap kepalanya dengan air yang bukan dari sisa tangannya..Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari jalan Harun bin Ma’ruf  dan Abu Daud dari jalan Ahmad bin Amer bin Sarah dan Ad-Darimi dari jalan Yahya bin Hassan dari Lahi’ah
Imam Nawawi berkata :artinya mengusap kepala dengan air yang baru bukan dari sisa tangannya.
Asshon’ani dalam subulussalam berkata: mengambil air yang baru untuk kepala itu perkara yang harus.
 عن عبد الله بن زيدأنه صلى الله عليه وسلم مسح أذنيه بغير الماء الذي مسح به رأسه »
Dari Abdullah bin Zaid bahwa Rasululloh saw mengusap kedua telinganya dengan air yang bukan diusap dari kepalanya. HR Hakim.

Lalu bagaimana dengan hadits diatas yang dijadikan dasar hukum muthohhirnya air musta’mal?
Hadits pertama riwayat Dari Abu Hudzaifah,
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.”[6]
Dalam umdatul qori syarah Bukhori dikatakan: Ini menunjukkan sucinya air musta’mal jika dimaksud mereka mengambil air yang mengalir dari anggotanya, kalau yang dimaksud mereka mengambil sisa air wudhunya yang ada di wadah, maka maksudnya itu tabarruk dengan air itu, dan air itu thohir yakni suci.
Jadi hadits yang pertama itu sudah jelas menunjukkan thohirnya atau sucinya air musta’mal, bukan muthohhirnya air musta’mal. Dalil pertama hanya bisa dijadikan hujjah bahwa air musta’mal itu suci namun bukan menyucikan untuk berwudhu, karena penggunaan air itu tidak digunakan untuk wudhu.
Hadits kedua riwayat dari Miswar,
Hadits nomer 2 menunjukkan sucinya air musta’mal namun tidak menyucikan untuk berwudhu sama seperti hadits pertama
Hadits ketiga riwayat dari Ar Rubayyi’
Hadits ini dhoif.
Imam Nawawi berkata hadits ini dhoif karena ada perawi yang bernama Abdullah bin Muhammad yang didhoifkan oleh kebanyakan ulama.
Azzahabi berkata: berkata Abu Hatim dan Uddah : haditsnya lemah, Ibnu Khuzaimah berkata: aku tidak berhujjah dengannya. Berkata Hanbal bin Ishak dari Ahmad bin Hanbal Ibnu Uqoil munkarul hadits.
Jadi hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas muthohhirnya air musta’mal
Hadits ke empat riwayat dari Jabir
Hadits ini sama seperti hadits nomor satu dan dua yakni menunjukkan air musta’mal itu thohir tetapi tidak muthohhir, karena air yang digunakan tidak pakai untu berwudhu.
Hadits yang kelima riwayat dari Abdullah bin ‘Umar
Kalau hadits ini dijadikan hujjah atas muthohhirnya air musta’mal, maka hadits ini bertentangan dengan hadits yang menjelaskan tidak mutohhirnya air musta’mal yaitu riwayat dari Abdullah bin Zaid, sebagaimana tersebut diatas. Sementara hadits riwayat Ibnu Umar ini para ulama memperselisihkan kandungan dari hadits tersebut. Karena ada hadits Nabi riwayat dari Abu Hurairah
أبي هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
Dari Abu Huroirah ra. Berkata Rasululloh saw janganlah salah satu dari kamu mandi di air yang tenang padahal dia sedang junub. HR Muslim.
 Begitu juga yang dipermasalahkan dalam hadits tersebut apakah yang dilakukan itu dalam satu bejana atau bukan. Sebagaimana hadits riwayat yang datangnya dari Musaddad
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- - قَالَ مُسَدَّدٌ - مِنَ الإِنَاءِ الْوَاحِدِ جَمِيعًا.
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata dahulu orang laki dan perempuan bersuci pada masa Rasululloh saw  berkata Musaddad dari satu wadah bersama-sama. HR.Abu Daud.
Dan ini diperkuat dengan riwayat Aisyah
كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه و سلم من إناء واحد من جنابة
Dari Aisyah berkata Dahulu aku mandi bersama Nabi saw dalam satu wadah dari karena junub. HR. Bukhori.
,alhasil .kalau dalam satu bejana, maka bagi kami itu belum dihukumkan musta’mal,karena air musta’mal itu air yang sudah terpisah dari anggota tubuh. Sementara dalam hadits tersebut masih didalam bejana.
Dan apabila hadits Ibnu Umar ini tetap dipakai juga maka maksudnya jika air itu lebih dari dua qullah, maka air itu tetap suci menyucikan, dan apabila kurang dari dua quillah maka air itu suci namun tidak menyucikan. Dan hadits diatas tentunya dihtimalkan bahwa airnya lebih dari dua qullah, supaya tidak bertentangan dengan hadits riwayat Abdullah bin Zaid diatas.
Jadi hujjah yang paling kuat untuk penetapan tidak mutohhirnya air musta’mal adalah hadits riwayat Abdullah bin Zaid
Sementara  Dalam syarah Ibnu Bathol berkata Ibnu Qosshor:Hadits Ibnu Umar mazhabnya telah gugur, karena laki-laki dan perempuan apabila berwudhu, maka sungguh orang laki-laki menggunakan sisa orang perempuan, dan tidak mustahil. Sementara yang lain berkata: Hadits Ibnu Umar ini bertentangan dengan riwayat yang datang dari Nabi saw “bahwa Rasul melarang seorang laki-laki berwudhu dengan sisa orang perempuan”
Dalam ‘Aunul Ma’bud dijelaskan: ahlu lughoh berkata:kalimat ” jami’an” adalah lawanan muftariq ( berpisah ) dan sungguh telah dijelaskan dengan hadits satu bejana dalam sohih Ibnu Khuzaimah. Hadits ini dari jalan Mu’tamir, dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa beliau melihat Nabi dan sahabatnya sedang bersuci sedangkan perempuan bersama mereka dalam satu bejana semuanya sedang bersuci
Hadits yang ke enam riwayat dari Ibnu ‘Abbas
Untuk hadits ini sama seperti hadits Ibnu Umar diatas, yakni mandi dalam satu bejana. sebagaimana riwayat yang dikeluarkan dari Bukhori
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - وَمَيْمُونَةَ كَانَا يَغْتَسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
Dari Ibnu Abbas Bahwa Nabi saw dan Maimunah keduanya mandi dalam satu bejana. HR Bukhori.
Permasalahan yang kedua adalah hukum air yang kurang dua qullah
Dikatakan air yang kurang dua qullah bila kejatuhan najis tidak menjadi najis jika tidak berubah
. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,
 إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
 “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[20]
 Hadits ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih didahulukan daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan oleh para ulama.
Menurut kami bahwa bila air kurang dua qullah lalu kejatuhan najis. Maka hukumnya tetap najis berubah atau tidak berubah. Berdasarkan hadits tentang dua qullah dibawah ini. “Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)  dan mafhum hadits ini
Hadits yang menjelaskan air yang dua qullah tidak menjadi najis. Memang benar dengan mafhum bila air kurang dari dua qullah maka hukumnya tetap najis berubah atau tidak berubah. Sementara hadits yang berbunyi”sungguh air itu pada dasarnya suci dan tidak bisa menjadi najis adalah mantuq, dan dalam qoidah ushul fiqh dalil mafhum tidak boleh menyalahi dengan dalil yang mantuq, seperti “sungguh air itu dengan adanya air artinya: mandi wajib itu terjadi dengan keluar air mani” mafhumnya bila bertemu kedua kemaluan laki dan wanita, maka tidak wajib mandi, dan ini bertentangan dengan mantuq hadits “apabila kedua kemaluan laki dan perempuan bertemu maka wajib mandi”
Namun yang menjadi masalah adalah mafhum hadits tentang dua qullah itu telah diperkuat dengan Hadits yang berbunyi”
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثًا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ ».
Dari Abu Hurairah ra.  Bahwa Nabi saw bersabda: apabila salah satu dari kamu bangun tidur, maka jangan menenggelamkan tangannya kedalam bejana hingga ia mencucinya tiga kali, sungguh dia tidak tahu dimana tangannya semalam HR Muslim.

Syeikh Ibnu Athiyyah berkata dalam syarah bulughul maram: mereka para ulama berkata: yang dimaksud “ina’( wadah)” itu adalah wadah yang kecil. Artinya air yang didalam itu sedikit.
Imam Nawawi berkata: larangan Nabi menenggelamkan tangannya menunjukkan takut akan najis tangannya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Dari Abu Hurairah ra. Berkata Rasululloh saw :apabila anjing menjilatmu di salah satu wadah kamu, maka tuwanglah lalu cucilah dengan tujuh kali. HR Muslim.
Imam Nawawi berkata: perintah Iroqoh ( menuangkan) dan mencuci itu menunjukkan najis,
Kemudian hadits yang menjelaskan “air itu suci menyucikan tidak bisa menjadi najis dengan sesuatu apapun”, kalau dilihat dari asbabul wurud hadits ini menerangkan tentang sumur budho’ah, dimana sumur budho’ah tentunya isi airnya tidak sedikit melainkan banyak bahkan lebih dari dua qullah. Jadi apa yang dimaksud dari hadits Nabi tersebut tentunya menerangkan tentang air yang banyak, sementara air yang sedikit atau yang kurang dua qullah sudah tentu menjadi najis bila kejatuhan najis.
Hal ini dapat disimpulkan, bahwa air yang sedikit atau kurang dari dua qullah bila kejatuhan najis, maka menjadi najis, berubah atau tidak berubah, berdasarkan mafhum hadits Nabi “Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)  yakni bila kurang dua qullah maka menjadi najis, berdasarkan dua hadits diatas Riwayat Abu Hurairah.
Sementara hadits yang berbunyi “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”  Adalah hadits yang maknanya mutlak namun diqoyidkan dengan hadits Dua qullah beserta mafhumnya.
Demikianlah tanggapan ini kami buat mudah-mudahan ini menjadi bahan pertimbangan.


1 komentar:

  1. baca saja buku hasbi ash-shiddiq tentang hadis-hadis hukum..
    beliau mengkritik dalil larangan bersuci dengan air mus'ta'mal...
    koleksi hadis-hadis hukum cetakan ke lima pt magenta bhakti guna 1994 hal 29 dst

    BalasHapus