Anjuran Untuk Tahlilan 7
Hari Berturut-turut
Mengapa para
ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang
telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?
Telah banyak
beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan
sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan
dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Imam Ahmad
bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan
riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i,
yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan
radliyallahu ‘anhu pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن
يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya
orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama
7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan
(pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini
sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim
al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa
Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah
seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas
keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah
al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi
mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin
telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan
taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat
melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh
sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat
saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini
merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru
meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri
shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah
dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah
berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5]
Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang
dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya
sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa
sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa
al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah
di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz
as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil
amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan
“manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan
membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah
seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan
dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina
Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن
سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه
يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن
عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن
يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها
للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها
الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله
عَنْه
“Ahmad bin
Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan
kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf
bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan,
seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang
masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai
‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib
radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga
memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali
(pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia
tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas
bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai..
manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam
Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Hikmah dari
hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari
bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta
para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka
kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.
Riwayat
diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful
Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani
(w. 840).
وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي
الله عنه- يقول: لا
يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر
فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من
الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس
بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده
وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده
ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد
بن جدعان
“Dan dari
al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu
‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu
kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai
‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama
manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari.
Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh
makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada
diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya
berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah
wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh
kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil
makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf)
mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya
dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan
juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali
al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah
meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta
rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam
‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21)
lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu
Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu
Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
Imam Suyuthi
Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا
يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan
mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah)
menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada
hari-hari tersebut “.
Sementara
dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما
المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid
bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq
memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh
hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam
menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat,
para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam
Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan
bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau
termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara
bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul
dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya
mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam
barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada
Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai
kepada Nabi Saw).
Menurut
ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان
يطعموا عنهم تلك الايام
berkata:
“Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka
selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan
makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari
tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta
diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li
al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi
bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca
kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw,
bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad
Saw.
Wallahu
A’lam.
[1] Lihat :
Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa
Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi
lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar
al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188
H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad
al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam
al-Mathalibul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat :
Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy :
“menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin
Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami
al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya
orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka
‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya
untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.
[3] Lihat :
al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa
‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam
at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus
bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ;
al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam
Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin
as-Suyuthiy.
[5] Lihat :
Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.
[6] Lihat :
al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar